Jumat, 15 Juni 2012

Pengorbanan Seorang Ayah


Di suatu kota kecil terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dikeluarga itu hanya ada satu anak tunggal laki-laki yang bernama Doni. Ibunya sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Dan ayahnya bekerja sebagai penjaga pintu jembatan. Sekarang hanya ada Doni dan ayahnya yang tinggal bersama dengan bahagia. Doni sekarang berumur 10 tahun dan sudah kelas 4 SD dan bersekolah di sebuah sekolah dikota itu. Mereka merupakan keluarga yang cukup sederhana.
Ayahnya sangat menyayanginya dengan mengajaknya bermain setiap akhir pekan. Mereka sering ketaman, pantai, kebun binatang, dan tempat lainnya. Doni merupakan anak satu-satunya yang dimiliki ayahnya sehingga ia sangat disayang, terlebih ibunya sudah meninggal. Ayahnya selalu bekerja di pagi hari sampai sore hari, begitu juga dengan Doni yang sekolah pagi hingga siang.
Pada suatu hari ayahnya mengajak Doni ketempat kerja ayahnya yang dekat dengan danau itu. Perjalanan ketempat kerja ayahnya harus dengan naik bis lalu dilanjutkan dengan naik kereta api yang memakan waktu sekitar 1 jam. Pada saat sampai distasiun dekat tempat kerja ayahnya, Doni sangat senang karena ia bisa melihat kereta-kereta yang lalu lalang dan banyaknya orang yang lalu lalang.
Akhirnya mereka sampai juga ditempat kerja ayahnya, Doni sangat senang bisa kesana. Ia bermain ditaman dekat pinggiran danau, ia memancing ikan dengan perasaan yang sangat senang. Distasiun sudah bersiap kereta yang akan berjalan menuju kota lainnya yang didalamnya terdapat banyak orang-orang yang berdosa ada yang memakai narkoba, berkelahi, saling mengucapkan kata-kata yang kotor.
Ketika beberapa saat, Doni sedang asyik memancing ikan, ia melihat sebuah kereta yang berjalan sangat cepat ingin melintasi jembatan. Namun ayahnya mengangkat jembatan itu karena ada sebuah pesawat terbang yang ingin lepas landas melewati jembatan itu, dan juga ayahnya tidak melihat ada kereta yang ingin melintas.
Dengan cepatnya Doni berlari menuju tempat ayahnya, ketika sampai disana ia berteriak ” Ayah . . . . ada kereta yang mau lewat . . . .” Namun ayahnya tidak mendengar. Karena keretanya sudah mau melewati jembatan, Doni mengambil keputusan untuk menurunkan jembatan itu secara manual dengan mengkat tuas yang ada tepat dibawah jembatan. Pada saat itu ayahnya melihat anaknya tersebut dengan kagetnya dan berkata ” Ya ampun . . . . Anakku . . . . “.
Pada saat itu, Doni terjatuh kedalam tempat tuas tersebut dan terjepit. Ayahnya yang melihat merasa bingung dan hanya ada 2 pilihan yaitu menyelamatkan anaknya atau menyelamatkan kereta itu. Dan beberapa saat, ayahnya memutuskan menyelamatkan kereta tersebut dengan menurunkan jembatannya. Dan beberapa saat, kereta itu melewati jembatan itu dengan selamat.
Kemudian ayahnya keluar dari tempat kerjanya dan berlari menuju anaknya untuk melihat kondisinya. Ternyata Doni sudah meninggal karena terjepit. Ayahnya menangis dengan sangat keras ” Tidak . . . . . . . . . Anakku . . . . . . telah tiada “. Pada saat itu salah satu dari penumpang perempuan kereta itu yang memakai narkoba melihat ayah Doni sedang sedih dengan menggendong anaknya tersebut.
Kemudian setelah beberapa hari kemudian ayahnya bertemu dengan perempuan yang berada dikereta waktu itu. Perempuan tersebut sangat berterima kasih dan terharu sekaligus minta maaf kepada ayahnya Doni karena sudah menyelamatkannya dengan mengorbankan nyawa anaknya sendiri.

Pengorbanan Seorang Ibu


Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.
Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telah melahirkan seorang bayi haram tanpa bapak. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love – Kasih.
Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.
Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya dari pada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.
Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.
Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: “Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!”
“Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!” kata wanita tua itu.
“Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!” ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.
Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya “Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!”
Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja “Mother’s Day” sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.
Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.

NASI BUNGKUS PRESIDEN


Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu... lapar....”

Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan....”
“Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”

Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”


Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”

Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kpd bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu??

Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.

Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.

BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???

Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.

Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.

Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.

Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??

Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”

Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”

Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”

Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”

Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”

Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.

Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.

Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”

Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.

Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.

Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.

Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.


NISAN


NISAN
Cerpen Mila Minhatul Maula

Aku tahu, kini aku sering memikirkannya. Bayangan-bayangan kesalahan masalalu terus menghantuiku. Memenuhi seluruh kapasitas memory otakku tanpa sedikit celahpun yang tersisa. Meski aku telah mencoba menghapus semua rasa bersalah dengan deraian air mata tanpa henti, itu percuma!!. Karena yang aku lihat kini hanyalah sebongkah batu nisan putih diatas gundukan tanah yang bertuliskan nama ibuku.
“harusnya, aku dulu mendengarkan semua ucapmu bunda.?!!”. penyesalanku kini harus terwakili oleh rangkaian kata yang tak berarti lagi.

Perlahan-lahan, otakku memutar memory masalaluku yang kelam, bayangan wajah ibu yang tersenyum tulus terpampang jelas di depan indera penglihatanku, memberikan senyum merekah tulus dan kasih sucinya, tapi hanya kubalas dengan nada kasar yang terlampau tinggi, lalu aku meninggalkannya bersama butiran-butiran bening yang menghiasi kedua sudut matanya. Aku berlalu membawa seluruh barang-barangku tanpa bekal do’a dan izin darinya. Menuruti semua ego yang mudah terbakar, mencari kebebasan di dunia luar bersama teman-teman, tanpa tersadar kalau itu hari terakhir aku bisa menatap lekat wajah sosok ibu tua yang sudah mulai kusut karena perjuangannya membesarkanku selama ini, tapi aku tak menghiraukan isak tangisnya, bahkan aku hempaskan genggaman tangannya yang lemah.

Bayangan itu masih terekam jelas, menyakitkan!!. Wajah tuanya begitu tulus, menggambarkan semua pengorbanan yang tak pernah kusadari saat itu, hanya tuntutan, remehan dan semua hal buruk yang aku berikan padanya, tanpa membuktikan dan membuatnya bangga dengan keberadaanku.
“menangis lagi, eh?” aku tersentak kaget, terbangun dari semua bayangan-bayagan masalalu yang terus meghujam batinku, ketika seseorang menepuk pundakku pelan. “lupakan saja semuanya, ibumu pasti sudah memaafkanmu”. Lanjutnya.

Aku menghela nafas dan menatap sosok laki-laki yang mebuatku kaget dengan sesekali mengusap air mataku. Kacamata setebal piring kini menghilang, berganti dengan lensa berwarna biru menyala yang menyilaukan. Dia tampak lebih dewasa dari yang dulu aku kenal. “rasyid” ucapku dalam hati. Perlahan-lahan dia duduk di sampingku dengan menaburkan bunga di atas makam ibuku.
“semua sudah terjadi tha” ucapnya. Kali ini dengan menuangkan air ke atas makam ibuku.
“tapi ini nggak adil?!!”nada bicaraku kelewat keras, dan ekspresiku nyaris seperti anak kecil yang merengek berebut mainan. Air mata terus menggenangi pipiku.

Dia menatapku dalam, hatiku seperti luluh dan bulir-bulir air mata kembali memenuhi mataku yang sudah bengkak dan memerah karena kesedihan. Sesegera mungkin tanganya yang legam meraih tubuhku dan menyandarkan kepalaku ke atas bahunya.
“mytha, dengerin aku, semua sudah terjadi!! Penyesalanmu nggak akan mengulang waktu” ucapnya menenangkanku yang seakan-akan, kini sedang terdampar di pulau penyesalan yang berkabut hitam. “yang harus kamu lakukan hanyalah, buat Ibumu disana bangga”.tambahnya. aku semakin terisak-isak menyesali semua salahku.” Buat dia bangga, dan buktikan kalau kamu sudah berubah” ucapnya lagi.

Perlahan-lahan, kuangkat kepalaku, ketika kulihat sosok berjubah putih berdiri menatapku dari sudut area pemakaman, wajahnya yang keriput kini berubah mencerah, secerah kasih sayangnya yang tanpa henti untukku selama ini. Senyum manis yang kurindukan, kini terlihat menghiasi wajahnya, mungkin dia ibuku.

Dia tersenyum bangga, karena baru saja melihat drama penyesalan yang sangat. Tapi lambat laun, sosok itu kabur, menjauh dan terus menjauh. Dibiaskan oleh cahaya mentari yang semakin terik dan bayangan itu hilang.

Ada sedikit rasa lega yang menghampiriku, menumbuhkan tekad dan janjiku untuk berubah menjadi lebih baik. Hari ini, besok dan selamanya.” Aku janji bu, selamat hari ibu bunda..”ucapku lirih tak terasa tetesan terakhir air mataku jatuh. Meski ibuku kini sudah tiada, tapi aku percaya kau mendengarku bunda. Sebuah kata penutup yang mengiringi hilangnya bayangan sosok yang ku kasihi.

Aku memang nggak bisa mengulang waktu yang telah berlalu, tapi aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki hari esok dan kedepan. nggak ada kata terlambat untuk berubah.

Rasyid kembali meraih tanganku dan mengajakku pulang. Tanpa banyak kata, ku ikuti langkah kakinya kakiku terus melangkah menjauhi tempat peristirahatan terahir ibuku, tapi hatiku sedikit lega karena bisa melihatnya tersenyum, meski hanya sebuah bayangan, tapi aku percaya itu.

PERTANYAAN MISTERIUS AYAH


Hari ini ayah tidak pergi kerja, aku pun sedang libur sekolah. Kulihat ayah sedang sibuk membetulkan sepeda motornya. Lantas kudekati ayah, “butuh bantuan, Yah?”, tanyaku polos. Saat itu aku masih kecil dan duduk di bangku SD. “eh, ada dede’ kecil. Boleh-boleh”, jawab ayah. Kami banyak berbincang selama membetulkan sepeda motor ayah. Ayah banyak bercerita tentang sepeda motor padaku, aku menikmatinya. “kalo dede’ sudah besar nanti mau jadi apa?’, tanya ayah padaku. “dede’ ingin jadi pembalap yah, seperti Valentino Rossi”, jawabku secara spontan. “oh ya?, wah hebat. Tapi pembalap harus tahu bagian yang terpenting dari motor, dede’ tahu?”, tanya ayah padaku. Aku pun berfikir, apa ya yang paling penting?.

Keesokan harinya saat sarapan, aku menjawab pertanyan ayah kemarin. Bagian terpenting dari sepeda motor adalah roda, karena tanpa roda motor tidak bisa berjalan. Mendengar jawabanku ayah berkata: “wah pintarnya, tapi sayangnya bukan itu sayang”, jawab ayah. Aku pun tidak menyerah, setiap hari aku selalu mencoba menjawabnya. Mungkin jawabannya adalah kunci, karena tanpa kunci motor tidak akan bisa menyala dan diamankan. Tapi ayah selalu berkata: “smakin hari dede’ smakin pintar ya, tapi jawabannya masih belum tepat”.

Aku belum menyerah. Sampai aku duduk SMP pun, Sesekali ayah menanyakan pertanyaan masa kecilku itu, dan setiap ku jawab pasti ayah berkata: “kamu sangat cerdas, tapi bukan itu jawaban yang tepat, terus mencoba ya”. Karena terus seperti itu, lama-kelamaan aku mulai bosan. Karena jawabanku selalu belum tepat. Sejak kecil sampai sekarang, ayah tak pernah mau memberikanku jawaban yang sebenarnya. “jangan kamu bosan mencoba menjawabnya, karena ini pertanyaan yang sangat mudah, teruslah berusaha”, kata ayah setiap kali aku mengeluh.

Sesudah lulus SMP, aku melanjutkan ke SMK dan aku mengambil jurusan otomotif. Kutanyakan pada guruku, bagian terpenting dari sepeda motor itu apa. Jawaban guruku adalah Accu, karena motor takkan bisa menyala tanpa Accu. Aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Sepulang sekolah sambil menunggu ayah menjemputku. Ku tanyakan pada teman-temanku, apa yang paling penting dari sepeda motor. Bermacam-macam jawaban kudapatkan dari mereka, mulai dari mesin, busi, rem, lampu, sampai bensin dan oli.

Saat diperjalanan aku menjawab pertanyaan ayah, satu persatu jawaban yang ku dapat, kuceritakan pada ayah, dan hasilnya tetap saja “coba lagi”. Aku mulai berpikir ayah pasti mempermainkan aku. Selama perjalanan aku tak berbicara sepatah katapun padanya. Sampai disebuah lampu merah, kami melihat seorang nenek tua bersama cucunya sedang mengemis ditepi jalan. Ayah merogoh kantongnya, memberikan sejumlah uang dan berkata: “tolong berikan ini pada mereka, senyampang kita masih diberi rezeki, kita harus saling menolong dan berbagi”. Kuberikan uang itu pada nenek yang sedang memelas dan mengemis itu. Hatiku tersentuh melihatnya.

Malam harinya diruang tamu, ayah menyuruhku duduk disampingnya. Beliau menasehatiku supaya aku jadi anak yang baik dan ramah sepertinya. Akupun mendengarkan dengan cermat. “jadi kau benar-benar ingin tahu jawaban dari pertanyaan ayah?”, kata Ayah secara tiba-tiba. Aku yang sedikit bingung mengangguk, karena aku sudah menyerah dan bosan dihatui pertanyaan misterius ayah. “kau tahu, diantara semua jawaban yang kau berikan pada ayah, memang tidak ada satupun yang salah. tapi ayah ingin kau belajar sesuatu dari pertanyaan ini. Kau tahu, bagian yang paling penting dari sepeda motor adalah ‘Sadel’ “, jawab ayah. Aku sedikit terkejut. “apa alasannya yah?”, tanyaku penasaran. Ayah tersenyum kearahku dan berkata: “kau tahu kenapa?, karena dengan sadel, kita bisa membonceng dan kita bisa berbagi kebahagiaan dengan siapa saja diatas sepeda motor kita. Seperti itu pula harusnya kita hidup, selalu berbagi dan memberi selama kita masih diberi waktu dan rezeki untuk hidup diatas bumi ini “.


AKHIRNYA AKU MENULIS


Malam ini aku hanya termenung di depan komputer temanku. Tak seperti biasanya. Biasanya aku datang ke rumah temanku itu hanya untuk menulis. Selalu berjalan biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen, terkadang. Merangkai kata menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali ini aku tak bisa. Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti biasanya. Dan aku hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang.


Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ad ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan jadwal.

“Tet … teet … teeet.” Ada tamu. Aku mengintipnya dulu dari lobang pintu. Ah, tamu itu tak kukenal. Tapi, aku harus membukakan pintu untuknya. Siapa tahu dia punya perlu. Perlu penting atau tidak tak jadi masalah. Karena aku tak berhak mengukur kepentingannya dengan apa yang aku anggap penting. Sekali pun, biasanya, aku sering diperlakukan tak adil oleh orangorang disekitarku. Aku tak dilayani selayaknya tatkala aku datang dengan membawa halhal yang tak penting bagi mereka. Ah, aku bukan mereka. Dan aku tak harus meniru mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan mereka bisa saja menjadi kekuranganku ketika aku memaksakannya berada padaku. Dan toh, ini juga bukan rumahku. Siapa tahu, dia ada perlu sama Radi atau Helmi.

Kubuka pintu rumah temanku itu. Aku memberinya seulas senyum. Entah. Aku selalu begitu kalau bertemu dengan orangorang tanpa terkecuali. Sudah menjadi reflek. Sekali pun aku pernah tahu bahwa agamaku mengajarkan hal itu. Dan terkadang ada sebentuk harap di balik senyumku, aku ingin dia dan siapa pun juga, menjadi bahagia saat bertemu denganku. Dan lagi, aku sering merasakan gundah dan gelisah sedikit menghilang. Ada rasa lega saat senyum itu kulepas. Apakah itu memang kekuatan senyum? Makanya, agama pun menganjurkan. Entahlah.

Tapi, tamu itu tak membalas senyumku. Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikir tentang dia yang senang atau tidak dengan senyumku. Bukankah itu hak dia untuk tidak senang dan senang menerima pemberian siapapun. Apalagi tatkala dia sedang tak membutuhkannya. Dia malah menatapku lekatlekat setelah mengucapkan salam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Juga jadi sebab penasaran merundungku.

“Silahkan masuk.” Aku pecah kesunyian anatara aku dan tamu itu. Aku ingin mengalihkan tatapannya yang sangat berani itu. Aku merasa aneh. Dia tak merasa kikuk atau kaget. Dia malah melenggang masuk. Itu saja. Dan duduk. Aku pun duduk menghadapinya karena cuma aku di rumah itu. Yang lain sedang keluar. Entah kemana. Tadi, saat aku datang, Radi hanya bilang mau keluar tanpa memberi penjelasan. Dan aku tak tanya lebih lanjut karena dia memang selalu begitu.

“Maaf. Aku mungkin udah ngebuat kamu bingung.” Tamu itu membuka mulut dengan matanya yang terus lekat seakan terpikat dan terikat oleh pandanganku yang biasabiasa saja menututku.

“Owh … nggak apaapa, Mas.” Aku mencoba untuk bersikap maklum agar tak ada perasaan tak enak mendera tamuku itu. Dan aku tak bisa membiarkannya saja. Aku harus bisa bersikap wajar dalam menghadapi tamu. Sekali pun aku sekarang sebenarnya sedang suntuk karena otakku tak mau diajak menulis.

“Ingin bertemu siapa, Mas?” Tanyaku sebagai basabasi dalam kikukku meladeni pandangan matanya yang tak mau pergi dari mataku.

“Aku memang sengaja datang ke rumah ini karena aku tak mengenal penghuninya. Tapi, ini jangan dibahas dulu. Aku masih ingin menjelaskan sikapku tadi yang telah membuatmu sedikit gelisah dan mungkin kamu dirundung oleh tanya yang berdatangan disebabkan ulahku. Pertama, aku tak ngebalas senyummu. Dan kedua, aku telah membuat kamu salah tingkah dengan pandangan mataku yang seakan menghakimimu. Untuk yang pertama, aku memang sedang nggak bisa senyum. Aku sedang dirundung pilu. Pilu itu begitu sakit kurasa sehingga menghalangi senyumku untuk senyummu. Juga untukmu. Karena biasanya saya tersenyum tanpa menunggu orang lain melempar senyumnya.

“Dan aku, tadi, kaget saat melihat matamu. Matamu bersinar ketulusan. Juga indah. Enak dipandang. Mungkin kamu sedang kurang melihat halhal yang dilarang agama. Atau kamu sering berwudlu sehingga airnya meninggalkan sinar hakikat cinta. Tapi, entahlah jika kamu tak melakukan semua itu. Itu hanya kata guruku dulu sewaktu saya sekolah di Aliyah. Guru Hadistku itu pernah bilang begitu tanpa menguatkannya dengan argumentasi Hadist atau Quran. Ini apologiku untuk yang kedua. Dan, mungkin, dengan keteranganku ini hatimu mendapat kelegaan.

“Oya, dengan alasan yang pertama itu aku datang kemari. Aku ingin menghilangkan gundah hatiku dengan sekedar bercerita pada orangorang yang tak kukenal. Menurutku, ngobrol dengan orang tak dikenal itu lebih asyik. Karena aku akan bebas lepas tanpa dicengkeram rasa canggung dan malu. Sebenarnya aku tahu untuk menghilangkan rasa gelisah itu dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, aku gagal. Mungkin aku masih belum mencintaNya secara tulus. Dalam mengerjakan perintahNya masih seringkali hanya mengerjakan sebatas menghilangkan kewajiban dengan sepi dari kekhusyukan dan menikmati detikdetik saat bersama denganNya.

“Maaf, dari tadi aku banyak omong.”

“Owh … gak apaapa, Mas.” Jawabku setelah sekian lama hanya bisa melongo dan bengong saja mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar. Tak kusangka dan tak kuduga akan bertemu dengan tamu seperti ini. Awalnya bersikap aneh. Sekarang bicara panjang lebar tanpa bisa dihentikan. Dan bicaranya sangat sopan dan teratur. Sungguh hari ini aku sedang menemukan hal yang sangat luar biasa. Itu bagiku. Entah orang lain. Bisa saja sependapat denganku atau tidak.

“Tadi, Mas bilang kalau mataku indah. Eh, kalau boleh tahu namanya siapa, Mas?”

“Maaf. Sekali lagi aku hanya bisa bilang maaf. Karena kedatangan saya kemari hanya untuk menceritakan kegundahan hati pada orang yang tak kukenal, aku tak bisa menyebutkan namaku. Dan kalau kamu memang tak berkenan ngobrol dengan orang seperti aku, aku pun bisa pamit sekarang juga. Dan sekali lagi saya hanya bisa ucapkan maaf telah mengganggu waktumu.”

“Owh … gak apaapa, Mas kalau memang seperti itu adanya. Saya nggak bisa memaksa. Dan saya punya banyak waktu untuk mendengarkan kisah, Mas. Ini jujur. Bukan karena perasaan nggak enak. Karena saya memang tipe orangnya senang mendengarkan curhat temanteman. Dan temantemanku ratarata senang curhat sama aku.”

“Sudah kuduga dan kesimpulanku dari pancaran matamu berarti tak salah dan tak berlebihan. Kamu memang orangnya tulus.”

“Mas ini dari tadi hanya memuji melulu. Sebenarnya mau cerita apa, Mas?”

Dia menengadah ke langit rumah temanku seakan mengingat hal yang membuatnya resah. Aku mengikuti geraknya kemana pun menuju. Dan sekarang aku gagal membuntutinya saat pandangan beratnya jatuh ke mukaku. Dia seperti tadi lagi. Menatap lekatlekat mataku. Dan bibirnya mulai bergerak merajut kata memulai cerita dengan tanpa melepas mataku.

“Aku sedang “sakit jiwa”. Prilakuku tak normal seperti orang biasanya. Aku tak betah di rumah sebagaimana temantemanku. Aku pernah mencoba seharisemalem di rumah dengan mambaca bukubuku kesukaanku. Kamu tahu? Aku menangis saat itu. Jiwaku merintih mengajakku jalanjalan kemana aja. Yang penting jalan. Jadi, kalau saya lagi main ke rumah temen dan pamit mau pulang, dia tanya seperti ini “mo pulang ke rumahnya siapa lagi, Mas?” tanyanya padaku. Karena mereka tahu kalo aku nggak akan pulang ke rumah saya sendiri.

Bibirnya mematung. Dia sedikit menghela nafas. Dan aku masih harus terus melayani tatapan matanya yang begitu lekat menikmati mataku yang indah menurutnya. Yang bercahayakan ketulusan cinta hakikat, juga menurutnya.

“Itulah yang membuat jiwaku resah. Aku jadi bertanyatanya pada diriku sendiri kenapa aku harus seperti ini. Tapi, aku tak menemukan jawabnya. Aku jadi pusing mikirin gimana caranya agar aku bisa ngerubah prilakuku ini. Nama sampyan siapa, Mas?”

“Aku Rudi, Mas.”

“Iya, mas Rudi. Karena aku udah selesai bercerita, aku pamit dulu. Terima kasih karena mas Rudi telah sudi mendengarkan resahku yang, mungkin, nggak bermutu menurutmu.” Dia beranjak dari duduknya. Mengulurkan tangan. Tapi, aku acuhkan dengan menatapnya bingung. Dan dia pun menggapai tanganku. Aku membiarkan dan mengantarkannya sampai ke pintu. Dia mengucapkan salam dan menghilang menembus malam.

Aku masih termangu di pintu rumah temanku.

“Tut … tut … tut.” Sms menyelinap di inbox Hpku. “Rud, aku gak bisa pulng. Malas. Udh malam lg. Km di rumh aja ya.” “Hmm …” Radi ternyata mau nginap. Entah di rumah siapa.

***

Aku kembali ke tempat semula. Depan komputer temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”

Kuikuti usul batin barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya di sebuah toko pasar luak.

Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan penulispenulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.

Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu.

Kini aku sibuk menghapus tulisan yang baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan hasil imajinasi yang menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam gelaktawa keramaian di antara guyonan temanteman.

Aku rubah kisah tamuku yang barusan pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya. Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah, dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.

Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai. Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku mendatangimu.”

Si tamu yang sangat senang menatap mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.

Kini, aku sudah selesai menulis cerpenku. Aku termenung di depan komputer temanku itu. Melihat dan mengoreksi hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan patuh.

Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi. Karena aku benarbenar butuh uang.

Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku tersenyum menikmati katakataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat menerima kurnianya.

Dan malam ini aku bisa menulis walau sebenarnya otakku sedang buntu. Aku bisa menulis karena tamu misterius itu. Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku. Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaMu. Amin.”

Bingkisan Kata Anakku


Betapa terkejutnya aku sore itu, sepulang dari bekerja aku telah dibuat kesal oleh anak semata wayangku, Ira.. Bagaimana tidak, piring-piring yang telah pecah berserakan. Belum lagi nasi didalam panci yang tumpah, berceceran kemana-mana.

“Ya ampun, Ira! Apa yang telah kau perbuat??” bentakku padanya. Ia hanya diam saja, terkejut. Dan sedikit demi sedikit bulir-bulir kecil menetes dari matanya yang mungil.

Sudah sering sekali anakku yang berumur tujuh tahun itu membuatku kesal. Dari piring yang selalu dipecahkannya, pakaian dalam lemari yang diobrak abrik, dan sampah berupa kertas yang selalu berserakan takkala aku pulang kerumah sehabis bekerja. Jika sudah terlanjur kesal seperti itu, maka tanpa panjang lebar lagi kutarik Ia lalu kupukuli tangan dan pantatnya. Sedangkan Ia hanya merengek dan mengerang, tanpa berteriak minta tolong. Bukan karena Ia tak mau minta tolong, tapi karena anakku itu memang tak bisa berbicara.

*********
Ibu dan ayahku terhenyak ketika mengetahui aku telah hamil tiga bulan diluar nikah. Aku telah dihamili oleh kekasihku sendiri, tapi bukannya Ia bertanggung jawab malah pergi meninggalkanku tanpa rasa belas kasihan sama sekali. Ibu dan Ayah lama-lama tak tahan menanggung aib keluarga yang telah ku bawa kerumah. Akhirnya mereka tak mau lagi menganggapku anak lagi. Mereka lantas mengusirku dari rumah. Hatiku sangat perih kala itu. Ku kutuk-kutuk anak haram yang saat itu tengah ku kandung. Dari situlah semua kebencianku berasal.

Paska pengusiranku dari rumah, akupun tinggal di sebuah kos kecil yang biaya pembayarannya ku dapatkan dari hasil upah mencuci baju. Dan selama masa kehamilanku, seringkali aku berusaha menggugurkan kandunganku itu. Aku tak mau anak haram ini lahir kedunia.Berbagai cara ku lakukan, dari minum obat-obatan sampai terkadang aku memukul-mukul perutku sendiri. Perlu diketahui, para tetanggaku tak ada yang tau kalau aku mengandung anak diluar nikah. Karena aku katakana kepada mereka bahwa ayahnya mati takkala usia kehamilanku berumur tiga bulan. Sekuat apapun aku mencoba menggugurkan kandunganku, ternyata Tuhan punya rencana lain. Anak ini tetap lahir kedunia. Tetapi keadaannya sungguh diluar dugaanku, kaki kanannya lebih pendek dibandingkan kaki kirinya. Ternyata anakku terlahir dalam keadaan cacat.

Aku malu mempunyai anak haram yang cacat. Walaupun para tetanggaku tak ada yang tau, tetap saja aku merasa jijik dengan anak itu. Namun, aku terpaksa tetap membesarkannya dengan susah payah. Perkembangan anakku terasa normal-normal saja hingga suatu saat ku ketahui ada satu hal yang terasa ganjil. Selain kaki kanannya yang tumbuh secara tidak normal, ternyata saat anak-anak seusianya telah lancar berbicara anakku bahkan tak bias menyebutkan satu katapun. Sejak saat itu aku tau, ternyata selain cacat anakku juga bisu. Entahlah, terkadang ada sebuah penyesalan karena telah melahirkannya. Lebih baik kubunuh saja Ia setelah ku melahirkannya.

Saat umurnya menginjak enam tahun. Ira kumasukkan ke salah satu sekolah dasar di kota ini. Walaupun prestasinya tidak terlalu buruk disekolah tapi aku tetap tak bisa menerimanya sebagai anakku. Mungkin aku terlalu trauma dan benci dengan masa laluku. Bagaimana tidak, karena anak haram inilah aku di usir dari rumah, karena anak cacat inilah hidupku menderita seperti ini. Hingga aku harus banting tulang hanya untuk menghidupi seorang anak yang cacat dan bisu. Bahkan aku terlalu malu untuk datang ke sekolahnya setiap ada pertemuan antara guru dan orang tua.

Seperti biasa,pada jam empat sore aku pulang dari rutinitas pekerjaanku. Berharap sesampai dirumah bisa menemukan ketenangan, tapi aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Kamar mandi telah digenangi oleh air yang berasal dari keran yang mungkin lupa ditutup oleh Ira.

“Ira. Apa-apaan ini?” Aku berteriak sekeras mungkin. Lalu ku cari Ia didalam kamar, ternyata kamar kosong. Ku cari Ia dibelakang rumah, tetap nihil.

“Ira. Dimana kamu?!?!” Aku berteriak lebih kencang lagi, tapi tak kunjung Ia menampakkan diri. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari kerumah tetangga. Dan ternyata benar, Ia sedang bermain disana. Tanpa panjang lebar lagi, ku tarik tangannya dengan paksa. Aku tak peduli lagi dengan tatapan mata para tetangga. Kesabaranku benar-benar habis kali ini. Sesampai dirumah, kupukul ia, puas memukul langsung kumasukkan dirinya kedalam kamar mandi yang tentu saja masih tergenang air. Anakku itu mencoba berontak, tapi tenaganya yang kecil itu tak seberapa menghadapi iblis yang telah merasuk dipikiranku. Kulihat Ia hanya merengek dan meronta. Seandainya Ia bisa bebicara, mungkin saja Ia akan berteriak minta tolong atau bahkan mengumpat dan mengutuk-ngutuk aku yang kejam ini.

Setelah puas melampiaskan kemarahanku padanya. Akupun terkulai ditempat tidurku, entah capek karena habis marah atau memang capek karena baru saja pulang bekerja akupun tertidur. Sekitar pukul enam tiga puluh aku baru terbangun.

“Ya ampun. Aku belum sempat beres-beres.” Segera aku beranjak dari tempat tidur dan mulai berberes-beres. Baru kali inilahrumahku yang tampak paling berantakan. Dapur kotor,diruang tamu berhamburan banyak sekali kertas yang berasal dari buku tulis anakku yang dengan susah payah aku beli, tapi dengan mudahnya Ia mencoret-coret lalu membuangnya begitu saja. Kupunguti kertas itu satu persatu sambil bibirku menggerutu berkepanjangan. Tapi timbul rasa penasaranku akan apa yang dicoretkan oleh anakku di kertas-kertas itu. Akupun lalu membuka salah satu dari kertas yang kupungut. Dan aku tak percaya dengan yang ku lihat dan kubaca. Sebuah tulisan acak-acakkan dari seorang anak sekolah dasar yang cacat dan bisu.

Bunda,Ira minta maaf kalau selama ini Ira nakal
Ira juga minta maaf,udah buat bunda kecewa dengan keadaan Ira
Tapi bunda,tolong jangan pukuli Ira,Ira janji nggak akan nakal dan akan nurut sama bunda
Bunda,Ira ingin sekali berbicara pada bunda
Tapi setiap bibir Ira mau Ira buka, rasanya seluruh kepala Ira jadi sakit
Bunda, jika Tuhan mengizinkan Ira dapat berbicara
Ira ingin sekali mengatakan pada bunda
Betapa Ira sangat sayang pada bunda

Tiba-tiba seperti ada sekat yang mencekat di kerongkonganku setelah membaca tulisan itu. Rasanya seperti ada benalu berduri yang menjalari hati. Entahlah, sungai air mata pun tak terbendung menjadikannya sebuah air terjun yang membasahi pipi.

“Ira, dimana Ira?” Aku tersadar dan segera mencarinya. Aku baru teringat, beberapa jam yang lalu aku mengurungnya di dalam kamar mandi.

“Ira!!!” Aku menjerit, hingga tetangga berhamburan, kaget menghampiri rumahku. Aku terkulai lemas dikamar mandi melihat anak semata wayangku tak sadarkan diri. Wajahnya begitu pucat, tubuhnya pun sangat dingin. Kini aku baru menyadari, bahwa perbuatanku kepadanya sangatlah keji. Ku sadar, semua yang terjadi ini tak ada hubunganya dengan Ira, apalagi sampai menyalahkannya. Dan ada satu hal yang kini aku percayai. Mungkin Ia memang cacat, mungkin Ia memang bisu. Tapi aku percaya, Ia mampu untuk berbicara. Berbicara dengan hatinya. Bukan hanya satu kata, melainkan beribu kata.

Sesampainya dirumah sakit, Ira langsung di bawa ke ruang unit gawat darurat. Aku menunggu di luar. Detik demi detik berlalu menjadi menit, menitpun berlari menuju jam. Hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka, seorang dokter keluar.

“Bagaimana dok keadaan anak saya,Ira baik-baik saja kan?” Aku memburu pertanyaan kepada sang dokter, air mata terus membanjiri kedua pipiku. Tapi sang dokter tetap diam.

“Dok, apa yang terjadi?Tolong jawab dok!” ku getar-getarkan bahu sang dokter, berharap sang dokter memberikan jawaban yang mampu menenangkan kegelisahanku. Sang dokter hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku lemas tak berdaya. Air mata semakin tumpah membanjiri pipi.

“Maafkan bunda,Ira.” lalu semua tampak gelap bagiku.
**********
Aku terbangun dari tidurku, namun ketika membuka mata aku sadar aku tak berada di dalam kamarku. Ini hanya sebuah ruangan kecil dengan pintu berterali. Entah, sudah berapa tahun aku menginap disini. Aku sudah tak bisa lagi mengingat tanggal, bulan, apalagi tahun. Yang ku tau, waktu itu terasa sangat lama. Seoran wanita berpakaian seperti seorang suster atau perawat lalu membuka terali yang mengurungku dan menarikku keluar dari ruangan itu. Kulihat banyak sekali orang-orang yang berperilaku aneh disini. Ada yang bergoyang-goyang sendiri, ada yang diam bagai patung, dan ada yang berteriak-teriak tak jelas. Dan aku sadar, kini akupun menjadi salah satu bagian dari mereka.

Pesan Itu Masih Ada


Debu itu terus melayang-layang mengikuti hembusan angin. Suara gesekan lembut dengan perlahan menyentuh ranting-ranting pohon tanpa daun.  Dengan riangnya, udara panas tadi memaksa masuk ke sudut perkampungan. Membuat perkampungan itu terasa tak bernyawa. Air yang turun di musim penghujan, tidak mampu lagi bertahan lama. Yang tersisa hanya tanah kering penuh retakan. Bagaikan pasir yang selalu di lalap api tak henti. 

Kampung itu memiliki warga yang gigih dalam bekerja, warga yang selalu berusaha keras untuk mendapatkan uang demi tuntutan sesuap nasi bagi keluarganya. Tak ada kata menyerah dalam diri mereka. Bahkan panas dan hujan, tidak menjadi halangan dalam bekerja. Mereka bukanlah seorang Dokter, Pengusaha, atau para Koruptor. Mereka hanyalah seorang pemulung yang berjuang untuk hidup dan pergi ke kota untuk memulung. 

Dulu, perkampungan ini memiliki tanah yang subur. Air tersimpan dengan banyak dan warganya sejahtera. Mereka bekerja sebagai petani. Dan air mengalir ke sawah-sawah tanpa hambatan. Namun, kehidupan mereka kini terampas oleh para penguasa tak berperasaan. Tanah mereka di jual ke pihak asing tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Pohon di tebang secara membabi buta. Sekarang mereka sedang berjuang untuk hidup, dengan harapan bahwa hidup ini mungkin akan berubah. Sungguh ironi nasib bangsa ini.

“Yakin!”, itulah isi hati seorang bapak yang sedang mengayuh sepeda dengan tenggorokannya yang kering. Kakinya yang dulu kekar, kini tak berdaya lagi untuk melaju cepat di jalan kering ini. Hembusan napas dengan tergesa-gesa menggambarkan ia sedang terburu-buru. Memang, terlihat anak kecil sedang duduk berpegangan erat ke pinggang ayahnya. Anak itu memakai seragam putih merah. Kira-kira berumur 9 tahun. Jam menunjukan pukul 7.30. Mereka terlambat ke sekolah.
__________________

Kehidupan yang sulit ini, memaksa semua warga untuk tetap saling bersahaja. Mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat para leluhur dengan sikap toleransi yang tinggi. Namun, kenyataan pahit itu masih terasa oleh mereka. Pendidikan tidak berlaku disini. Sekolah yang ada sejauh 15 Km dari perkampungan. Karena alasan itulah hampir semua anak di kampung ini putus sekolah. Meskipun beberapa orangtua yang masih sadar akan pendidikan.

Angin malam yang dingin sungguh kontras dengan panasnya matahari yang terik di siang hari. Menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Selimut tebal tidak cukup hangat untuk menahan dinginnya udara ini. Hanya diam dan menunggu. Menunggu sinar matahari di pagi hari yang mungkin bisa mengahangatkan tubuh mereka.

Malam itu Fadil sedang berbicara dengan ayahnya. Mereka berencana untuk membeli buku catatan pelajaran PKN sebelum berangkat sekolah, karena buku sebelumnya telah habis di pakai dari kelas 2 SD. Toko buku itu berada di perkampungan sebelah. Dimanamereka harus memutar arah agar bisa pergi ke perkampungan itu terlebih dahulu. Waktu tempuh sudah mereka perhitungkan, yaitu harus bangun lebih awal dari biasanya.

Mereka berbicara dengan penuh kehangatan. Dan menjadi salah satu penghibur mereka di saat hari-hari yang sulit dan melelahkan. Sambil menepuk bahu anaknya, sang ayah berpesan seperti biasanya. Suaranya yang lemah akibat terlekang oleh waktu, membuat sang ayah harus berhati-hati dalam berbicara karena takut tersedak. Fadil mendengarkan dengan seksama, sambil mengangguk-ngangguk terdiam. Pertanda, bahwa perkataan ayahnya sudah tidak asing di telinga Fadil. Ibu Fadil duduk diam di samping radionya yang usang sambil menjahit baju sobek milik sang suami.

Pagi itu, waktu tempuh yang telah di perkirakan melenceng jauh. Mereka terlambat kesekolah akibat ban sepedanya yang kempes. Karena itulah mereka harus menambal terlebih dahulu di rumah. Untung saja, ayah Fadil dengan cekatan secara cepat dapat mengatasinya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.
Dengan tergesa-gesa,  sang ayah terus mengayuh sepeda. Keringat terus mengalir membuat baju rapihnya basah. Sambil membawa buku di tangan, Fadil memegang erat pinggang sang ayah. 

Di tengah perjalanan, terlihat seorang anak seumuran Fadil menggendong anak kecil di punggungnya. Gendongan itu tertutupi tas besar yang hampir menutupi setengah tubuhnya yang mungil. Ia adalah Arif, teman sekolah Fadil satu-satunya dari kampung sebelah. Sepeda yang tadi melaju cukup cepat kini berhenti. Dengan tergesa-gesa, sang ayah mencoba mengatur napas untuk bertanya kepada Arif. Seperti biasanya, tutur lembut suara itu terdengar merdu menyejukan hati. “Nak, kenapa kamu tidak sekolah?”, tanya ayah. Arif terdiam sejenak, suara nyaring terdengar lugu “Ayah saya sedang sakit, saya harus memulung”. Sang ayah tampak murung dan merunduk menyesal, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan berat hati,  sepedapun kembali melaju. Fadil terus melihat Arif, tampak mengecil dan menghilang dari kejauhan. 

Perjalanan hampir sampai. Namun kayuhan sepeda menjadi semakin lambat. Dengan lemas, tangan sang ayah memegang erat tangan Fadil. Brughhh!! Sepeda terjatuh dengan tiba-tiba. Sang ayah terbujur kaku tak terusik. Fadil sembari menangis ketakutan mencoba merangkul kepala ayahnya. Wajahnya tampak pucat. Ayahnya sudah tidak bernyawa. Jeritan Fadil memanggil sang ayah menggema membelah udara sepi hamparan ladang luas kala itu. Dalam tangisannya, Fadil hanya bisa mengingat satu pesan yang selalu di sampaikan ayahnya tiap malam, “tetap lanjutkan sekolahmu nak”.

Anak Durhaka


Sebelum fajar menerangi bumi yang gelap di pagi hari, Bu Ani sudah terbangun dari tidur lelapnya untuk salat subuh dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Ibu Ani hanya tinggal di gubuk yang tak layak huni, namun apalah daya Ia dan keluarganya tak bisa tinggal di tempat yang lebih layak karena masalah keuangan.
Suami Bu Ani meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk pergi merantau ke Jakarta dan memilih untuk menikah lagi dengan wanita lain. Profesi Bu Ani hanya sebagai pencari ikan di sungai. Ia memiliki 2 anak, yang paling tua baru mendapatkan pekerjaan entah sebagai apa, karena dia tidak pernah memberi tahu Ibu nya soal pekerjaannya itu.
Yang paling kecil benama Dodi, Ia masih sekolah kelas 5 SD. ”Ibu…!!! Masa makan pagi ini hanya makan nasi pakai ikan yang tadi malam sih ?” teriak Siti kepada Ibunya yang sedang mencuci baju diluar rumah. “Ada apa nak? Janganlah kamu berteriak seperti tadi” ucap Bu Ani. “Gimana enggak teriak-teriak? Masa makan pagi ini cuma beginian doang sih?” kata Siti dengan geram. “Ya mau gimana lagi? Kan Ibu hanya bekerja sebagai pencari ikan disungai” sahut Bu Ani dengan nada lemas.
Siti langsung mandi untuk bersiap bekerja tanpa sarapan dahulu. Dodi yang dari tadi melihan kakak nya marah-marah saja kemudian makan pagi lalu bersiap ke sekolah. “Siti kamu tidak sarapan dulu nak?” kata Bu Ani. Putri sulungnya itu tidak menjawab perkataan Ibu nya sendiri, malah langsung pergi tanpa pamit dahulu. “Bu..? Dodi pergi ke sekolah dulu ya, Assalamualaikum” kata Dodi sambil mencium tangan Ibunya. “Walaikumssalam”.
Waktu pun berjalan dengan sendirinya, sampai malam pun menyebarkan virusnya agar semua orang kembali menuju rumah mereka masing-masing. Namun si Siti belum pulang juga dari pekerjaannya tersebut. Sampai akhirnya Bu Ani dengan warga yang ikut panik karena si Siti belum pulang juga ikut mencari. Tetapi hingga waktu menunjukkan pukul 11 malam, Siti belum ketemu juga. Pencarian pun terhenti setelah ada seorang warga yang berkata “Mungkin Siti lagi nginap di rumah temannya kali Bu Ani”. Bu Ani menyetujui perktaan seorang warga tersebut agar tidak merepotkan warga.
Terbangun dari tidur karena sudah waktunya salat subuh, Bu Ani bergegas untuk salat subuh. Tetapi ketika ingin salat ada orang yang mengetuk pintu gubuk Bu Ani itu. Terkejutlah Bu Ani ketika melihat bahwa yang mengetuk pintu itu adalah Siti yang baru pulang kerja.
“Astagfhirullah, Siti? Kamu darimana saja? Ibu khawatir mamikirkan kamu”. “Iya iya bu, Siti ngantuk mau tidur dulu ya” ucap Siti sambil menuju kamar. “Ya Allah.. apa salah saya? Kenapa anak saya bisa berperilaku seperti ini” ucap Bu Ani dalam hati kecilnya sambil menangis.
Ketika siang menunjukkan panasnya matahari, Siti baru terbangun dari tidrnya. Sehabis itu dia menuju kamar mandi untuk mandi setelah itu makan siang. Bu Ani memanggil anaknya itu agar menceritakan tentang tadi malam kenapa dia pulang di saat subuh. Siti menjawab pertanyaan Ibunya dengan berbohong.
Kejadian kalau Siti pulang saat subuh bahkan sampai pagi hari menjadi kebiasaan bagi Siti. Sampai akhirnya Siti pun jatuh sakit. Bu Ani dengan setia menjaga anaknya yang sedang sakit itu. “Siti? Mengapa kamu menangis?”.”Maafkan Siti bu, maafkan Siti” “Memang kamu punya salah apa? Sampai kamu meminta maaf kepada Ibu?”.
Siti pun menceritakan bahwa mengapa Ia sakit, ternyata dia terkena penyakit HIV, dan Siti menceritakan kalau perkerjaannya selama ini itu menjadi seorang PSK.
Bu Ani pun kaget dengan pengakuan ankanya itu. Pengakuan Siti tersebut membuat Bu Ani tediam tanpa berkata-kata sedikit pun. Sampai akhirnya Siti mendapati penyakit yang semakin parah hingga akhirnya Ia pun meninggal. Sejak saat itu Bu Ani pun tidak pernah terlihat lagi setelah kepergian putri sulungnya. Sementara Dodi diasuh oleh tetangganya.

MENCARI KESETIAAN


Sudah banyak hal aku lalui semua ini tapi semua hasilnya nihil. Tak ada yang pasti semua ketulusan ku dibayar dengan penghianatan. Sakit memang tapi ini lah yang aku alami setiap aku merajut kasih. Sudah banyak pria yang mendampingi ku dari aku duduk di bangku sekolah pertama tapi kandas oleh sebuah penghianatan. Aku pernah mendapatkan pria yang aku cari dia yang membuat hidup berarti di tengah penderitaan ku melawan penyakit yang aku derita dia yang memberi arti kehidupan merasakan indah cinta walau kamu terpaut usia dan berbeda sekolah itu bukan halangan buat kami.

Walau terkadang aku sering di jadikan pacar keduanya setelah game online bahkan kalau aku ngajak main ada saja alasannya tapi aku selalu mengerti dan di sini lah aku mengenalnya. Awalnya sungkan bagi ku untuk berkenalan dengan orang awam tapi setelah ku telisik ternyata dia anak yang asik dan bisa di ajak sharing dari hal-hal yang membuat aku gundah.
“kak, main yuk okta sibuk dengan pacarnya”
“ayo” jawab pesam ku singkat

Setiap aku lagi males aku mengajaknya untuk tukar fikiran, tapi aku tak sedikit pun menyimpan perasaan sama dia. Hingga suatu ketika aku putus dari okta secara sepihak entah apa alasannya itu yang membuat aku sakit karena selama 1 tahun lebih aku hanya di mainkan sampai terfikir kan oleh ku untuk membalas rasa sakit ini sama pria lain benar saja belum genap aku putus dengan okta 24 jam aku sudah memiliki pacar kembali tapi tak bertahan lama aku hanya ingin melampiaskan kekecewaan ku.
Hingga aku dikenal kan sama ketua tim basket SMA ku. Awalnya aku hanya ingin memainkan perasaannya saja tapi entah kenapa aku merasa nyaman sama dia mungkin karena sifatnya berbeda dengan okta walau dia keras kepala aku bisa untuk mengalah.

“beibh, besok aku tanding kamu nonton iya” BBM dari orda
“iya beibh besok aku nonton tapi aku ngajak seseorang iya” balasku dan tak di jawabnya
Begini lah kalau yang dulu aku dilupakan karena game terus yang kali ini aku juga dilupakan karena bermain basket kalau ditanya pasti selalu jawabannya“ngerti lah beibh, aku kan ketua tim ini jadi kalau nggak ada aku jadi kacau permainannya”. “hah sama saja” itu lah yang selalu keluar dari bibir manis ini.

Sampai ketika aku masuk rumah sakit, tapi apa yang berada di samping ku bukan lah orda pria yang ku sayang melain kan dia si penjaga warnet, aku tertegun bukan saja asik ternyata dia baik, itu lah yang terfikirkan oleh ku.

“beibh, maaf aku nggak bisa jenguk kamu kemarin aku ada pertandingan penting” ucap orda
“penting kan saja permainan mu tak usah kau fikirkan aku, sudah lah kau sama okta sama saja, pria sama saja hanya bisa memainkan perasaan wanita.” Jawab ku yang kesal
“sudah lah tak usah di ributkan jangan karena hal seperti ini kalian ribut, toh orda sudah dateng kesini seharusnya kamu senang di jenguk sama pria yang kamu sayang” jawaban si dia untuk meleraikan kami berdua

Hingga saat aku menjalani operasi orda menemaniku bahkan dia ada pertandingan final dia tak ikut dalam timnya mungkin karena tersentak akan perkataan si dia. Aku berterima kasih sama si dia tapi sebelum aku berterima kasih sama dia akan tetapi ternyata dia sudah pergi meninggalkan kota ini entah kemana seakan lenyap bak di telan bumi tanpa kabar. Hingga aku putus sama orda dan lagi-lagi aku diputusin secara sepihak tanpa alasan yang jelas membuat aku teringat sama dia, andai dia di sini sekarang aku akan berterima kasih sama dia karena aku tak kan lagi depresi karena pria dan aku selalu mengingat kata-katanya

“dek, sebenarnya kalau kamu depresi akibat pria itu adalah kesalahan terbesar kamu karena masih banyak pria di dunia ini akan menerima mu apa adanya, jadi jangan lah kau takut akan putus cinta, karena itu yang di benci sama yang maha kuasa bahkan kalau kau selalu depresi akibat hal yang sama kau akan selalu di ujinya karena kau yang membuatnya dan kau yang harus tanggung akibatnya, maka ingatlah kau masih ada aku di sini yang selalu menemanimu di saat pelik masalah yang membelitmu, jadi lampiaskan lah semuanya sama aku jangan kau bersedih dan meratapinya berbagi lah akan kekesalanmu.”

Itu lah sebagian kata yang selalu aku ingat dari dia tapi kini aku sendiri disini yang harus melewati hal ini. Tanpa air mata yang berlinang di bola mataku. Tak kan habis kata-kata ku untuk berterima kasih sama dia. Dan aku tak kan letih untuk mencari pria yang setia untuk menemani ku di saat susah dan senang sama seperti si dia.